Rudi Badil Meninggal Dunia, Ini Sejarah Warkop Prambors
Jakarta, radarpaginews.com – Personil asli grup lawak Warkop Prambors yang belakangan berganti nama menjadi Warkop DKI, Rudy Badil, meninggal dunia.
Kabar meninggalnya Rudi Badil disampaikan oleh Indro. Lewat Instagramnya, Indro menyampaikan ucapan duka cita atas kepergian sahabatnya itu.
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Selamat beristirahat dengan tenang Mas Rudy Badil, doa terbaik kami sekeluarga besar Lembaga Warung Kopi Dono Kasino Indro untuk keluarga yg ditinggalkan,” tulis Indro, Kamis (11/7/2019).
Rudy Badil dikabarkan meninggal dunia di RS Hermina, Depok, Kamis (11/7/2019) sekitar pukul 07.13 WIB akibat terserang stroke saat berada di kamar mandi rumahnya pada Senin (1/7/2019) pagi. Saat berita ini dibuat, jenazah sedang disemayamkan di RS Dharmais, Jakarta Barat.
Sebelum meninggal dunia, Rudy sempat dirawat di RSPI Bintaro dan dipindah ke ruang ICU RS Hermina, Depok.
“Senin pagi kemarin beliau stroke dan jatuh di kamar mandi. Akibatnya, pendarahan di otak dan mengenai batang otak. Sempat masuk RSPI Bintaro, kemudian malamnya dipindah ke ICU RS Hermina Depok, sampai dengan wafatnya tadi pagi jam 07.13 WIB,” kata Indro.
Sejarah Warkop
Warkop Prambors awalnya dibentuk oleh Nanu Mulyono, Rudy Badil, Kasino Hadiwibowo yang semuanya merupakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Belakangan turut bergabung Dono (Wahjoe Sardono), rekan sesama mahasiswa UI, serta Indro (Indrodjojo Kusumonegoro) yang kuliah di Universitas Pancasila.
Awal kesuksesan mereka dimulai dari acara radio “Obrolan Santai di Warung Kopi” yang merupakan acara lawakan di Radio Prambors yang bermarkas di kawasan Mendut, Prambanan, Borobudur, alias Menteng Pinggir.
Ide acara ini berawal dari Kepala Bagian Programming Radio Prambors, Temmy Lesanpura yang pada tahun 1973 meminta aktivis UI Hariman Siregar, untuk mengisi acara di Radio Prambors. Namun Hariman tidak mau tampil di acara itu, dia malah menunjuk Kasino dan Nanu yang dikenal sering melawak di lingkungan kampus UI untuk mengisi acara yang akan disiarkan setiap Jumat pukul 20.30 sampai 21.15.
Kasino, Nanu, dan Rudy Badil kemudian mengisi acara ini sejak tahun 1973 dengan nama Warkop Prambors. Belakangan pada tahun 1976, baru bergabung Dono, kemudian di tahun yang sama datang pula Indro yang menjadi anggota termuda dari segi usia. Formasi beranggotakan 5 personil ini semakin sukses merebut simpati pendengar Radio Prambors.
Rudi Badil dalam obrolan sering berperan sebagai Mr. James dan Bang Cholil. Indro yang berasal dari Purbalingga berperan sebagai Mastowi (Tegal), Paijo (Purbalingga), Ubai atau Ansori. Kasino yang asli Gombong perannya bermacam-macam, mulai Mas Bei (Jawa), Acing/Acong (Tionghoa), Sanwani (Betawi) dan Buyung (Minang). Nanu yang asli Madiun sering berperan sebagai Poltak (Batak) sedangkan Dono hanya berperan sebagai Slamet (Jawa).
Mereka bebas mengembangkan bakat melucu, bahkan tanpa harus diberi persiapan naskah. Tapi masalah kemudian timbul saat grup yang bernama Warkop Prambors ini mulai mendapat tawaran untuk melawak di atas panggung. Melawak di studio radio yang tidak disaksikan penonton rupanya berbeda jauh dengan lawakan di atas panggung.
Rudy Badil mengalami demam panggung, demikian juga Dono. “Pernah sekali saya coba di panggung TIM, saya menyadari bahwa saya tidak mampu. Setelah itu ya nggak usah saja,” kata Rudi Badil, suatu ketika.
Menurut Rudi, Dono pun awalnya saat manggung beberapa menit pertama merasa malu dan takut sehingga keluar dari panggung. Setelah beberapa menit, barulah Dono naik ke atas panggung lagi. Dan entah kenapa, Dono akhirnya bisa menguasai diri, bahkan lawakannya terus menggila sampai pertunjukan berakhir.
Tapi sebenarnya bukan cuma Rudi dan Dono yang mengalami demam panggung. Saat pertama kali Warkop muncul di pesta perpisahan (prom nite) SMP IX yang diadakan di Hotel Indonesia, semua personil gemetar dan hasil lawakannya hanya bisa dibilang lumayan saja, tidak terlalu sukses.
Namun pentas prom nite di tahun 1976 itulah pertama kali Warkop menerima honor yang berupa uang transport sebesar Rp 20 ribu yang terbilang besar pada masa itu. Namun uang tersebut akhirnya habis untuk mentraktir makan teman-teman mereka.
Berikutnya mereka manggung di Tropicana. Sebelum naik panggung, kembali seluruh personel panas dingin, dan ternyata hasilnya kembali hanya lumayan.
Baru pada acara Terminal Musikal (asuhan Mus Mualim), grup Warkop Prambors benar-benar terlahir sebagai bintang baru dalam dunia lawak Indonesia. Pada masa ini, Rudi Badil yang tak kunjung bisa mengatasi penyakit demam panggungnya sudah menyerah dan mengundurkan diri dri grup.
Acara Terminal Musikal sendiri tak hanya melahirkan Warkop tetapi juga membantu memperkenalkan grup PSP (Pancaran Sinar Petromaks), yang bertetangga dengan Warkop. Sejak itulah honor mereka mulai meroket, sekitar Rp 1 juta per pertunjukan atau dibagi empat orang, setiap personil, masing-masing Dono, Kasino, Indro, Nanu, mendapat Rp 250 ribu.
Kepopuleran mereka semakin menanjak setelah pada tahun 1979 bermain dalam film “Mana Tahan” bersama Elvy Sukaesih.
Tinggal Bertiga
Formasi dengan empat personil ternyata tidak bertahan lama. Pada tahun 1979, usai film Mana Tahan meledak, Nanu Mulyono ditawari menjadi bintang utama dalam film “Rojali dan Zuleha” bersama Lydia Kandow.
Keputusan Nanu bermain sendiri dalam film itu dianggap mengingkari kesepakatan tidak tertulis di antara sesama anggota Warkop Prambors untuk tidak bermain film sendirian tanpa personil warkop lainnya.
Alhasil, Nanu pun “dicuekin”. Dono, Kasino, Indro jalan sendiri dengan film-film mereka yang sangat laris di pasaran pada awal dekade 1980-an. Sementara karir Nanu seolah tamat karena tidak ada lagi tawaran bermain film untuknya.
Nanu yang merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, berdarah campuran Jawa dan Sunda, akhirnya meninggal di usia muda, 30 tahun. Dia menutup mata di RSCM Jakarta karena sakit liver dan ginjal pada 22 Maret 1983 dan dimakamkan di pada hari yang sama di Tanah Kusir.
Nama Rudi Badil dan Nanu Mulyono perlahan dilupakan masyarakat. Tinggal Dono, Kasino, Indro yang terus melejit.
Dengan honor Rp 15 juta per satu film, maka mereka pun kebanjiran uang, karena hampir tiap tahun mereka membintangi satu film. Malah selama beberapa tahun ada dua film Warkop sekaligus setiap tahunnya. Mereka disebut-sebut sebagai artis dengan honor termahal masa itu.
Ketiganya belakangan berganti nama menjadi Warkop DKI yang merupakan singkatan dari Dono, Kasino, Indro atau bisa juga plesetan dari Daerah Khusus Ibukota).
Ini karena nama mereka sebelumnya, Warkop Prambors, memiliki konsekuensi tersendiri. Selama mereka memakai nama Warkop Prambors, mereka harus mengirim royalti kepada Radio Prambors sebagai pemilik sah nama Prambors. mereka mengganti nama menjadi Warkop DKI, untuk menghentikan praktek upeti itu.
Dari semua personil Warkop, mungkin Dono yang terlihat paling intelek. Setelah lulus kuliah dia menjadi asisten dosen di FISIP UI tepatnya jurusan Sosiologi. Kasino juga lulus dari FISIP UI tapi tidak berkarir di dunia akademis. Sementara Rudi Badil akhirnya menjadi wartawan Kompas.
Kasino tutup usia di tahun 1997. Dono meninggal di tahun 2001. Indro menjadi satu-satunya personel Warkop DKI yang tersisa. Kini dengan meninggalnya Rudi Badil, lagi-lagi Indro menjadi satu-satunya personil yang tersisa dari Warkop Prambors. (gunawan)