Penjelasan Lengkap BPN Provinsi Papua Soal Kisruh di Kawasan TWA Teluk Youtefa
“Saya pastikan kita BPN tidak memberikan dukungan secara organisasi bagi seseorang untuk merusak lingkungan. Itu sama sekali tidak ada. Kita berusaha untuk agar sebidang tanah itu dijaga, diperuntukkan dan dipergunakan sesuai dengan fungsi ruang,”
JAYAPURA RadarPagiNews – Pihak Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Papua akhirnya buka suara terkait penimbunan karang dan pembukaan areal di lokasi KWA Teluk Youtefa, Kota Jayapura di kawasan hutan mangrove. Dimana saat ini terus menjadi polemik.
Sebab menurut aturan itu setiap bidang tanah harus dipetakan di wilayah dan salah satu yang menjadi hak ATR/BPN petakan adalah Kota Jayapura ini menjadi Kawasan hutan yakni Kawasan wisata.
“Kita sudah lakukan pemetaan terakhir di tahun 2018 – 2019 sewaktu BPN membuat sertifikat untuk kampung adat Tobati – Enggros. Untuk pemberian sertifikat itu adalah sebuah bukti keperdataan atas kepemilikan seseorang. Agar seluruh bidang tanah bisa terdaftar,”ungkap Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua Dr. Roy Eduard Fabian Wayoi, S. Sos, M.MT kepada Tim Redaksi, Kamis malam (13/7/2023) di Jayapura.
Tentunya dalam pemberian hak tersebut mengikuti prosedur, SOP dan aturan yang ditentukan. Terkait keperdataan seseorang untuk suatu bidang tanah.
Caption : Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Papua Dr. Roy Eduard Fabian Wayoi, S. Sos, M.MT. (foto : Julia)
Kata Roy, terkait dengan lokasi yang dirusak dan dibongkar tentunya itu melanggar aturan lingkungan dan juga kehutanan. Sertifikat yang dikeluarkan itu bukan sebuah bukti atau ijin untuk orang bisa seenaknya membuka dan menghancurkan sebuah bidang tanah.
“Coba dibaca baik – baik di bagian belakang sertifikat ,itu tertulis bidang tanah itu harus dijaga, dirawat, dipelihara. Jadi sertifikat itu diberikan sebagai hak keperdataan saja dan bukan sebagai suatu tanda bukti untuk orang bisa merusak dan mempergunakan atas sebidang tanah. Sesuai keinginannya,”tegasnya.
Pasalnya pengaturan ruang itu ada aturannya tersendiri. Bukan didalam sertifikatnya. Tetapi di Peraturan Daerah (Perda), dimana pemerintah daerah yang mengatur ruang – ruang itu.
“Ini untuk Kawasan wisata. Berarti kita mengarahkan hak itu untuk pengembangan wisata. Contohnya hak kita berikan untuk daerah pertanian di Koya, berupa sertifikat lahan tanah. Itu dipergunakan untuk menanam padi dan perkebunan bukan untuk Gedung – Gedung. Kita berikan itu sertifikat. Tetapi sertifikat tidak dibikin untuk membuat Gedung atau tempat jasa. Ini khusus untuk daerah pertanian,”jelasnya.
Lanjutnya, jikalau mau alih fungsi maka wajib meminta ijin kepada instansi yang membidangi itu. Misalnya ke Dinas Pertanian atau PUPR.
Sertifikat Bukan Bukti Final
Demikian juga untuk membuat Kawasan. “Anda punya hak, minta ijin kepada instansi yang membidangi itu Kehutanan, PUPR dan Lingkungan hidup. Sebab sertifikat bukan menjadi bukti final bahwa seseorang bisa berbuat seenaknya. Ini disalah tafsirkan,”keluhnya.
Terkait permasalahan tanah di Kawasan Konservasi TWA Teluk Youtefa, menurut mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Jayapura itu. Pihaknya pada hari Kamis (13/7/2023) sudah bertemu dan berbicara dengan pemerintah kota diwakili Asisten I Setda Kota Jayapura Everth N Merauje. Dimana timbul kesepakatan menggelar akan rapat terpadu, guna mengambil langkah – langkah dalam menangani persoalan di Kawasan Mangrove.
“Saya pastikan kita BPN tidak memberikan dukungan secara organisasi bagi seseorang untuk merusak lingkungan. Itu sama sekali tidak ada. Kita berusaha untuk agar sebidang tanah itu dijaga, diperuntukkan dan dipergunakan sesuai dengan fungsi ruang,”tukasnya.
Tak Ada Sertifikat
Secara aturan dijelaskan bahwa Pemberian hak di dalam Kawasan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dan turunannya di Surat Edaran Sekertaris Jenderal No.4/SE-100.PG.01.01/II/2022 tentang Kebijakan Penatagunaan tanah di Kawasan lindung.
Pihaknya bisa berikan hak seseorang diatas tanah – tanah dalam Kawasan hutan. Tetapi ada juga disitu petunjuk tidak semua Kawasan.
“Cuma terhadap lokasi yang dimaksud dan saat ini dibongkar itu malah saya sendiri belum mendapatkan informasi bahwa lokasinya memang disitu. Sertifikatnya mana,’tanyanya.
“Apakah sudah pernah dikembalikan batasnya. Karena didalam peta kita lihat kosong. Dia dapat sertifikat itu kapan. Harusnya sertifikat divalidasi dan dilakukan perukuran pengembalian batas dulu. Bukan serta merta mengaku – ngaku,”sambungnya.
Caption : Kepala Kantor Pertanahan Merauke, Provinsi Papua Selatan yang juga masuk dalam Anggota Tim Terpadu Penyelesaian Permasalahan Pertanahan di Papua. P Tambunan (foto : Jessy)
Kawasan Hutan Besar
Sebelumnya kawasan ini hutan besar. “Tiba – tiba datang dia bongkar. Dimana dia punya batas bidang hanya tentukan sendiri. Terus bilang kita terlibat. Kita terlibat seperti apa (BPN-red). Apakah kita berikan rekomendasi untuk dilakukan pembongkaran. Jangan dia membenarkan diri padahal dalam Kawasan tersebut sudah ada papan besar,”katanya mengingatkan.
Ditegaskan pihaknya sama sekali tidak memberikan ijin untuk orang merusak hutan. BPN sama sekali tidak punya kapasitas disitu. Justru sebaliknya orang yang mendapatkan hak itu wajib menjaga, melindungi, memelihara dan menjaga kesuburan tanah.
Sementara itu Kepala Kantor Pertanahan Merauke, Provinsi Papua Selatan yang juga masuk dalam Anggota Tim Terpadu Penyelesaian Permasalahan Pertanahan di Papua. P Tambunan menjelaskan kawasan apa yang boleh diberikan hak.
“Ini kan dia baru menjelaskan Kawasan yang diberikan hak. Sertifikat adalah pengakuan negara terhadap hak – hak masyarakat. Dimana masyarakat Indonesia punya hak atas tanah dan negara berikan dalam bentuk sertifikat tanah,”terang Tambunan.
Tetapi untuk menggunakan itu si pemilik tanah harus tunduk pada peraturan. Contohnya Perda tata ruang. Kewenangannya di Pemda selaku pembuat Perda.
“Misalnya Kawasan ini hanya boleh peruntukkannya untuk apa. Dia harus untuk itu dan itu bukan menjadi ranah dari BPN. Ranah kami hanya menerbitkan dan mengakui haknya. Tetapi penggunaan tanah dan ruang adalah kewenangan instansi lain dalam hal ini Pemerintah daerah setempat,”tekannya.
Karena peruntukkan ruang merupakan peraturan yang diatur dalam Perda. Dimana Perda RT/RW dan RDTM ada sanksi yang mengaturnya.
Sehingga untuk membuktikan bahwa mereka punya lokasi di atas tanah itu. Karena dalam plank yang tertulis, pemilik tanah hanya menunjukkan surat keterangan pelepasan tanah.
“Coba ditunjukkan sertifikat dan nomor berapa,”timpal Kepala ATR/BPN Papua Roy Wayoi.
Pasalnya dibacaan BPN Provinsi Papua sendiri itu kosong dan hanya tertulis bekas tanah milik adat dan tidak ada apa – apa disitu.
“Kalau dia mau pembuktiannya ajukan permohonan pengembalian batas. Tetapi dia harus tunjukkan lokasi,”sarannya.
Kemudian karena itu masuk dalam Kawasan, maka yang bersangkutan harus menunjukkan Surat Keterangan Rekomendasi Kawasan.
Kalau ditunjukkan maka petugas BPN akan datang untuk mengukur. Kalau tidak bisa menunjukkan, maka BPN tidak akan bisa untuk turun ke lokasi guna lakukan pengukuran.
Sebab informasi yang diterimanya staf petugas BPN/ATR datang ke lokasi hanyalah untuk mengetahui luas tanah dan bukan untuk mengeluarkan sertifikat.
Sertifikat yang dimaksud belum di validasi di kantor pertanahan. Kalau yang bersangkutan (si pemilik tanah-red) mau untuk pembuktian sertifikatnya, maka harus ajukan permohonan resmi dengan melampirkan sertifikat asli dan dia harus punya rekomendasi Kawasan dari Dinas Kehutanan yang menyatakan lokasi itu bisa lakukan penimbunan atau lainnya. Karena lokasi itu sudah terlanjur dibuka oleh si pemilik lahan.
“Karena si pemilik tanah sudah lakukan pembongkaran Kawasan. Maka bagaimana dia punya rekomendasi kita mau ukur. Ko trada rekomendasi baru bongkar itu Kawasan dan meminta kami untuk datang mengukur. Padahal pemanfaatan itu untuk Kawasan hutan wisata. Kenapa ko bongkar. Kalau begitu mana dia punya ijin untuk membongkar baru kita pi datang untuk mengukur,”pungkasnya. (Tim Redaksi)