Mengenang 32 Tahun Tragedi Bintaro
Jakarta, radarpaginews.com – tak terasa sudah berlalu, tapi ‘Tragedi Bintaro’ masih lekat di ingatan banyak orang. Senin pagi 19 Oktober 1987, saat angkutan umum sedang dipadati penumpang, terjadi musibah kereta api terbesar di Tanah Air dari segi korban jiwa.
Musibah itu dikenal dengan nama ‘Tragedi Bintaro’. Sebanyak 156 penumpang meninggal dunia dan sekitar 300 lainnya luka-luka, ketika dua kereta api yang berlawanan arah melaju dalam satu jalur.
Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkas Bitung bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Kedua kereta terguling dan ringsek, lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 itu hancur lebur. Akibat benturan yang sedemikian keras dan cepat, separuh gerbong lokomotif BB-303 16 meringsek ke dalam gerbong pertama yang ditariknya.
Kecelakaan naas itu terjadi karena kesalahpahaman komunikasi dan koordinasi antar stasiun, serta ketidaktahuan petugas. Hingga akhirnya di tikungan S ± Km 18.75, tabrakan antara KA 225 dengan KA cepat 220 jurusan Tanah Abang-Merak pun tidak terelakan.
Seharusnya, KA 225 yang ditarik lokomotif BB306 16 dan KA 220 yang ditarik lokomotif BB303 16, bersilang di stasiun Sudimara. Namun hal itu tidak dilakukan, sehingga berakibat sangat fatal.
Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) justru membuat surat pemindahan tempat persilangan (PTP) ke masinis KA 225. Padahal seharusnya, PPKA meminta izin terlebih dahulu ke stasiun Kebayoran.
Akibatnya, KA 225 dan KA 220 sama-sama melaju dan bertabrakan secara tragis di Pondok Betung, Bintaro. Ratusan korban pun berjatuhan dan 156 orang dilaporkan meninggal dunia.
Berikut beberapa fakta dari kejadian tersebut:
Kewalahan Evakuasi Penumpang
Seorang warga setempat, Zainal, menjadi saksi hidup Tragedi Bintaro 1987. Seperti dilansir Kompas.com, ia juga turut membantu mengevakuasi korban yang selamat dan tewas.
Saat itu, petugas dan warga sampai kewalahan mengevakuasi penumpang, karena terlalu banyaknya korban yang berjatuhan.
Banyak Korban Terjepit di Persambungan Kereta
Salah satu korban hidup dari tragedi mengerikan itu adalah pria bernama Sholeh. Seperti dilansir Tribunnews.com, Sholeh naik KA dari stasiun Sudimara menuju Stasiun Palmerah.
Untungnya, ia duduk di kursi agak tengah, sehingga selamat meskipun kaki kanannya nyaris putus. Ia masih ingat jelas bagaimana jerit tangis penumpang kereta nahas itu.
Mayat bergelimpangan dimana-mana, paling banyak terjepit di persambungan kereta. Bahkan ada yang wajahnya tak dapat dikenali sama sekali, karena seperti habis tersiram sesuatu.
Warga Setempat Tahlilan di Pinggir Rel Setiap Tahun
Tragedi Bintaro tak hanya menyisakan kepedihan bagi para penumpang dan keluarganya. Namun, warga yang berada di sekitar lokasi kejadian nahas itu juga tak dapat melupakan begitu saja peristiwa itu.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, warga sekitar memasang bendera merah putih di sekitar rel. Warga juga menggelar tahlilan bersama di pinggir rel, untuk mendoakan arwah korban yang meninggal dunia, agar tenang di alam sana.
Petugas Justru Disoraki Penumpang
Sebelum insiden tabrakan terjadi, petugas PPKA, Jamhari, sudah berupaya menghentikan KA 225 dengan mengibas-ngibaskan bendera merah, yang berarti kereta harus berhenti. Namun, kereta tetap saja melaju.
Jamhari justru disoraki penumpang yang berada di atap kereta dan bahkan ada yang tertawa-tawa.
Sanksi bagi masinis
Pihak pertama yang dituding bersalah atas musibah itu, tak lain adalah masinis. Slamet adalah masinis di balik kemudi KA 225 jurusan Rangkas Bitung-Jakarta Kota. Dia dianggap menyalahi aturan karena memberangkatkan kereta tanpa izin Pimpinan Perjalanan Kereta Api (PPKA). Usai musibah itu, Slamet enggak hanya kehilangan pekerjaan tapi juga divonis 5 tahun penjara.
Selepas penjara, Slamet sempat bekerja di kereta api sebagai pembantu di Dipo. Tapi sayang, pada 1994 dia diberhentikan dengan tidak hormat oleh Dirjen Perkeretaapian. Setelah itu, ia mengisi hari tuanya dengan berjualan asongan.
Diangkat jadi lagu dan film
‘Tragedi Bintaro’ enggak hanya menjadi perhatian publik Tanah Air, tapi juga menjadi keprihatinan dunia internasional. Tragedi itu juga menjadi inspirasi bagi para seniman dan musisi. Salah satu musisi senior, Iwan Fals menulis lagu ‘1910’ mengenai tragedi itu. Lagu ‘Masih Ada Waktu’ diciptakan oleh Ebiet G Ade. Selang beberapa tahun kemudian, kisahnya diangkat ke layar lebar dengan judul ‘Tragedi Bintaro’ pada 1989.
Lokasi dianggap mistis
Entah benar atau tidak, tetapi masyarakat sekitar mempercayai beberapa cerita horor yang kemudian berkembang. Di antaranya badan tanpa kepala yang melintas di rel dan suara rintihan misterius.
Saksi mata, Mahfud (39) tinggal di kawasan tersebut sejak lahir, masih berusia 13 tahun ketika ‘Tragedi Bintaro’ terjadi. Ia mengungkapkan, kecelakaan memang sering terjadi di pintu perlintasan itu.
Warga sering mengaitkannya dengan hal mistis ketika akan terjadi kecelakaan di daerah tersebut. Menurut warga di sana, akan ada suatu pertanda sebelum kecelakaan terjadi. Misalnya, biasanya ada warga yang melihat sosok anak kecil berlarian. Masih menurut Mahfud, kecelakaan lebih banyak terjadi di hari Senin. (dari berbagai sumnber)